Akselerasi Dekarbonisasi PT Vale, Jaga Keberlanjutan Masa Depan

184

BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR –  Akselerasi penggunaan energi bersih,  menjadi poin fundamental dalam memastikan masa depan perekonomian,  serta sektor lainnya tetap terjaga dalam konteks keberlanjutan.

Hal tersebut mengemuka dalam Sustainability Forum 2021, yang diselenggarakan PT Vale Indonesia Tbk pada Selasa (22/3/2022).

Kegiatan tersebut  mengangkat tema “Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan”.

Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan, agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang.

Langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, lanjut dia, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris, yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.

“Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana, maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030, dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris,” papar Fabby.

Menurutnya, di 2022 ini pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan, harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri. Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan, dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030.

“Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap competitiveness perekenomian kita jadi lebih optimal,” tegasnya.

ada sisi lain, Fabby memandang Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah di Tanah Air, yang sudah berada pada tatanan transisi energi dengan bauran EBT yang cukup signifikan.

Itu seiring dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis EBT,  seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya, di mana bauran energi bersih sudah berada pada level sekitar 30% dari daya terpasang di Sulsel.

Baca Juga :   DPP APINDO Kukuhkan Pengurus PAW Periode 2017 - 2020

Hal tersebut juga dinilai tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, diantaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.

“Ini saya rasa sudah sangat baguslah. PT Vale sendiri sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut,” papar Fabby.

Pada kesempatan sama, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdana mengemukakan, pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral,  yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.

“Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060,  atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran EBT sudah secara penuh pada saat itu tercapai. Penurunan emisi 1.562 juta ton CO2,” tegasnya.

Pada sisi bauran EBT, papar Dadan, ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Pepres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, lalu mandatori bahan bakar nabati, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT.

Kemudian tentu saja kemudahan perizinan berusaha segmen EBT, lanjutnya, hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Vale Indonesia Febriany Eddy menjelaskan, perseroan yang bergerak pada sektor pertambangan juga telah membangun peta jalan guna menurunkan emisi karbon untuk scope 1 dan 2 sampai 1/3 di tahun 2030 dan net zero tahun 2050.

“Untuk rencana smelter baru di Sulawesi Tengah, kami bersama dengan partner  dari Tiongkok telah berkomitmen menggunakan LNG bukan batubara untuk pembangkit listrik disana,” ujarnya.

Baca Juga :   Dirut PLN Inspeksi SPKLU Jalur Mudik, Pastikan 1.299 Unit Se-Indonesia Siaga Layani Pengguna Mobil Listrik

Khusus untuk proyek tersebut, dia mengungkapkan  terdapat proses yang butuh hingga 9 bulan negoisasi dengan partner perseroan beralih ke LNG.

“Awalnya bagi mereka tidak masuk diakal, pindah ke LNG akan mengurangi NPV project kami sebesar $200 juta, padahal secara regulasi tidak ada yg mengharuskan PT Vale saat ini untuk beralih, kenapa harus memilih jalan yang lebih susah dan mahal. Jawaban kami, hal ini adalah pilihan bukan paksaan,” urai Febriany Eddy.

Menurut dia, ukuran keberhasilan suatu organisasi tidak hanya pada keberhasilan finansial, tetapi juga pada faktor lain. Untuk itu, perseroan mengadopsi 3P, yakni people, profit dan planet.

 

Nur Rachmat