Uang Elektronik, Berkah atau Beban?

265
Kasir disalah satu hotel di kota Makassar, menggesek kartu dimesin untuk melanjutkan transaksi pembayaran konsumen dengan kartu kredit.

BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Mulai Oktober 2017, pemerintah mewajibkan semua pengguna jalan tol, termasuk di Makassar menggunakan uang elektronik (Unik) dalam setiap transaksi jasa ruas jalan bebas hambatan tersebut. Bahkan sebelumnya penggunaan “Unik” ini sudah diterapkan untuk beberapa jenis transaksi tertentu secara bertahap.
Namun penerapan “Unik” untuk jasa jalan tol menjadi sorotan dan menarik karena menyasar hampir sebagian besar warga masyarakat yang berkendara roda empat dan sehari-hari melintas di jalan anti macet tersebut. Pasalnya, sebagian pengguna jalan tol saat ini diresahkan dengan aturan wajib itu. Artinya, bagi yang tidak punya “Unik” jangan harap bisa melintas di jalan tol. “Gimana kalau warga dari pedalaman yang belum familiar dengan uang elektronik, tentu bingung,” ujar Rahmat Dahlan, seorang karyawan swasta di Makassar.
Problemnya kemudian, bukan kepada bagaimana menumbuhkan kebiasaan menggunakan “Unik” sebagaimana yang lazim diterapkan di luar negeri, tapi pada beban yang akan dikenakan bank penerbit “Unik” untuk setiap kali pengguna “Unik” melakukan top up atau mengisi ulang saldonya. Berapa besar yang dibebankan pada nasabah, atau ada batas minimal dan maksimal potongan, Bank Indonesia yang mengaturnya.
Sebetulnya selama ini, terutama bagi anak muda yang berusia di bawah 40 tahun dan tinggal di perkotaan, relatif sudah akrab dengan “Unik” karena bisa dipakai untuk berbagai keperluan. Di samping “Unik”, mereka yang melek internet ini juga terbiasa dengan transaksi nontunai lainnya seperti kartu debet/ATM, tapi juga bisa digesek pada mesin electronic data captured yang terdapat di meja kasir berbagai toko dan mini market), pembayaran melalui mobile banking, internet banking, dan aplikasi lainnya.
Disadari atau tidak, setiap melakukan transaksi tersebut, sebagian saldonya langsung terpotong untuk biaya transaksi. Hal ini sering tidak muncul di layar saat bertransaksi, namun karena potongannya kecil, yakni sekitar Rp 500 sampai Rp 7.500 (jika lawan bertransaksi berbeda bank dengan si pembayar, biayanya lebih mahal), sehingga nasabah kerap mengabaikan.
Di satu sisi, banyak anak muda yang saldo tabungannya relatif kecil karena baru bekerja dan bahkan ada yang masih minta jatah dari orang tua karena berstatus mahasiswa, sudah terbiasa dengan transaksi nontunai. Mereka ini tidak keberatan dengan ongkos transaksi yang dibebankan bank, baik karena tidak menyadarinya atau karena merasa ongkos itu telah terkompensasi dengan kemudahan yang diberikan bank.
Namun di sisi lain, ada para orang tua yang saldo tabungannya relatif besar, tapi merasa keberatan bila dipaksa bertransaksi secara nontunai. Penyebabnya adalah karena mereka rata-rata masih gagap teknologi (gaptek). Ketika mereka mencoba bertransaksi memakai kartu, mungkin karena gugup, jadi salah pencet atau salah menempelkan kartu, akhirnya transaksi memakan waktu lama, atau bahkan transaksi bisa gagal. “Nah, kalau yang beginian dipaksa terus, apalagi dibebani ongkos transaksi, wajar bila para orang tua mengajukan keberatan,” ujar Marzuki DEA, dosen di FEB Universitas Hasanuddin (Unhas).
Para petugas di gerbang tol pasti akan berkurang dengan adanya kewajiban konsumen mengunakan “Unik”. Tapi tetap perlu beberapa petugas yang mengawasi sekaligus menjadi pendamping bila ada masalah dengan penggunaan “Unik” seseorang.
Sementara itu, Peraturan Bank Indonesia (BI) tentang pengenaan biaya isi ulang saldo “Unik” atau e-money jangan sampai hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah dan merugikan nasabah atau konsumen. Warning tersebut terkait munculnya beragam pendapat di masyarakat bahwa kebijakan itu diduga tidak fair, karena hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah yang memiliki program gerakan non-tunai dan merugikan nasabah, terutama yang berada di pedalaman.
Bahkan ada yang mempertanyakan apa manfaat penggunaan e-money dibandingkan dengan uang tunai (cash) bagi Indonesia yang masyarakatnya beragam dan tersebar hingga ke pelosok. Sekali pun, kata Marzuki, pengenaan biaya isi ulang saldo disebutkan untuk memberikan insentif kepada perbankan dalam menyiapkan infrastruktur pengadaan, namun regulasi isi saldo tersebut berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) itu, harus fair, sehingga tidak hanya menguntungkan perbankan dan pemerintah yang memiliki program gerakan non-tunai dan merugikan konsumen.
***Komang Ayu/Mohamad Rusman.

Baca Juga :   Makassar, Kendari dan Palu: Target Pasar Menjanjikan di Luar Jawa