BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Buah naga menjadi salah satu yang paling diminati masyarakat Indonesia. Tidak hanya karena memiliki tekstur lembut dan rasa manis, tapi juga kandungan nutrisi buah naga, yang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan.
Sebagai negara tropis, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil buah naga. Ada banyak wilayah berpotensi untuk dijadikan sebagai lokasi untuk berkebun buah naga. Salah satunya Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Di kabupaten yang dijuluki Bumi Panrita Kitta itu, buah naga tumbuh subur pada periode bulan September hingga April, sehingga menjadi ladang rupiah bagi masyarakat.
Salah satu warga yang berprofesi sebagi petani buah naga adalah Lukman, warga Desa Sukamaju, Kecamatan Tellulimpoe. Pria berusia 53 tahun itu memiliki luas kebun buah naga sekitar 1 hektar, yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga.
Menurut Lukman, saat musim panen yang berlangsung Oktober sampai April setiap tahun, biasanya ia memanen hingga 5 ton buah naga setiap bulan. Harganya sekitar Rp10 ribuan per kilogram (kg).
Hasil buah naga itu, ia antarkan sendiri ke Kota Makassar untuk dijual, yang selanjutnya akan dikirim ke Malaysia.
“Musim panen raya itu mulai Oktober sampai April, saat panen setiap bulan bisa dapat 5 ton. Saya antar sendiri ke Makassar,” urai pria kelahiran tahun 1970 ini.
Meski demikian, saat musim panen usai, kebun buah naga milik Lukman tidak pruduktif, sehingga sumber penghasilan utamanya pun terhenti.
Beruntung, PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sulawesi Selatan, Tenggara dan Barat (Sulselrabar) memiliki program bejrtajuk ‘Cahaya untuk Sang Naga’ yang merupakan bagian dari wujud komitmen, untuk terus mendorong Electrifying Agriculture.
Melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), PLN memberikan bantuan senilai Rp70 juta dalam bentuk 500 bohlam kepada petani, guna meningkatkan produktivitas buah naga di Desa Sukamaju, Kecamatan Tellulimpoe, Kabupaten Sinjai.
Salah satu petani buah naga yang tersentuh bantuan itu adalah Lukman, yang berhasil menerangi sebagian dari kebun buah naga miliknya.
Biasanya, ia menerangi kebun buah naga miliknya sekitar 8 hingga 9 jam per hari selama 20 hari setiap bulan, yaitu pada periode Mei hingga Agustus setiap tahun, saat musim panen usai. Selama periode tersebut, Lukman biasanya membayar biaya listrik senilai Rp12 juta.
Biaya operasional untuk menerangi kebun buah naga miliknya itu tidak seberapa, karena dengan bantuan ratusan bohlam yang diberikan PLN, ia bisa panen buah naga hingga empat kali di luar musim. Ia pun bisa mendapatkan cuan berlipat.
“Per kilo harga buah naga lebih mahal di luar musim, karena produksi kurang. Hanya saya saja yang bisa panen karena pakai bohlam. Harganya bisa sampai Rp20 ribu ke atas. Sedangkan kalau musim hanya Rp10 ribuan saja,” jelasnya.
Sebelum mendapatkan bantuan bohlam, panen hanya bisa mencapai 200 kg di luar musim puncak, dengan pendapatan maksimal Rp4 jutaan saja.
Berkat terang bohlam dari PLN, Lukman bisa panen di luar musim. Satu kali panen bisa menghasilkan 500 hingga 700 kilogram buah naga, dengan pendapatan sekitar Rp10 juta hingga 14 juta lebih.
Jadi Lukman mampu memperoleh total cuan Rp40 juta hingga Rp56 juta di luar musim, karena mampu melakukan panen hingga empat kali berkat bohlam. Dengan pendapatan tersebut, ia berhasil membiayai anak pertamanya hingga lulus S2 di Kota Makassar.
Nur Rachmat