BISNISSULAWESI.COM, BANGKOK – Turunnya peringkat Thailand ke peringkat 47 dari 119 negara dalam popularitas indeks pengembangan pariwisata dan perjalanan dalam Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), membuat Perdana Menteri Srettha Thavisin membatalkan provisi atau proposal biaya pariwisata untuk destinasi di Negeri Gajah Putih.
Hal itu diambil secara konstruktif menyusul turunnya peringkat Thailand sebagai destinasi populer dunia jika dibandingkan standardisasi “kepopuleran” mereka pada 2019 lalu. Isu terhadap rentannya pertumbuhan yang melambat pada industri pariwisata di Thailand, mencuat setelah WEF merilis data terkait, juga tekanan publik terhadap kebijakan yang tidak populis itu.
“(Thailand) turun enam peringkat dibandingkan 2019 lalu, dan saya ingin bersikap konstruktif ketimbang saling menyalahkan,” demikian ungkap Thavisin, seperti dilansir straitstimes.com, Minggu 9 Juni 2024.
Secara resmi di Bangkok, Sabtu 8 Juni 2024, ia mengatakan pemerintahnya akan membatalkan usulan pemerintahan sebelumnya yang mengenakan biaya pariwisata sebesar 300 baht atau sekitar Rp 132.745 (kurs per Minggu 9 Juni 2024) bagi wisatawan asing yang memasuki Thailand melalui transportasi udara.
Sekadar diketahui, provisi atau biaya administrasi yang ditepkan sebuah negara kepada wisatawan mancanegara berbeda-beda. Provisi dianggap sebagai suatu “jaminan” bagi para turis asing yang berniat berlibur ke suatu negara.
Saat membuat visa misalnya, para wisatawan disyaratkan memenuhi aturan maupun ketentuan yang dikeluarkan suatu negara. Salah satu syarat tersebut dapat dilihat dari pengajuan visa yang seringkali menjadi ganjalan bagi para wisatawan. Dalam addendum salah satu ketentuan yang harus dipenuhi adalah disertakannya rekening koran dengan saldo tabungan mencapai jumlah minimal tertentu.
Sejatinya, setiap negara memiliki peraturannya sendiri dan harus dipenuhi agar dapat “melancong” di negara tujuan. Adapun tujuan kedutaan suatu negara meminta penyertaan dokumen tersebut semata-mata guna memastikan wisatawan yang datang memiliki dana yang cukup. Baik untuk berpergian dan pulang kembali ke negara asalnya.
Pasalnya, jika tidak kedutaan khawatir nantinya bakal terjadi hal yang tidak diinginkan seperti menjadi wisatawan ilegal atau imigran gelap.
Terkait provisi yang “dibatalkan”, Thavisin bilang pemerintahnya mempertimbangkan untuk tidak menerapkan kebijakan yang diusulkan pada Februari 2023 lalu tersebut. Pasalnya, pihaknya mendapat banyak tentangan dari sektor terkait terutama dari industri pariwisata swasta.
“Meskipun memungut biaya sebesar 300 baht per orang dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka pendek bagi pemerintah, namun kontradiksi yang kami lihat dari perspektif yang lebih luas menunjukkan akan lebih banyak wisatawan bila diizinkan masuk tanpa provisi ini,” paparnya.
Thavisin beralasan, kemungkinan besar mereka akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk berbelanja, juga untuk aktivitas wisata lainnya.
Selain itu, menurutnya, hal tersebut juga dapat menstimulasi perekonomian dan berpotensi menghasilkan lebih banyak pendapatan bagi pemerintah dibandingkan ketetapan “provisi” itu sendiri.
“Setiap keputusan harus mempertimbangkan suara semua pemangku kepentingan. Jika pemerintah dapat memperoleh tambahan pendapatan dari sumber pajak lain, maka dimungkinkan untuk mengalokasikan dana guna mendukung pariwisata sesuai kebutuhan yang diperlukan,” imbuh Thavisin.
Ia menjelaskan, pemerintah Thailand bertujuan untuk terus mengembangkan setiap aspek. Oleh karena itu, pihaknya harus menghormati kebijakan pemerintahan sebelumnya.
“Karena semua pemerintahan sepakat pariwisata adalah andalan penting yang dapat menghasilkan pendapatan besar bagi negara,” ungkap Thavisin.
Hal itu juga tidak lepas dari berbagai jajak pendapat yang dilakukan terhadap publik dan pelaku industri pariwisata yang mengakui banyak kota dan pulau di Thailand sebagai tujuan wisata kelas dunia.
“Kita harus fokus untuk mendorong suara-suara yang masuk akal, yang bisa mengarah pada pembangunan lebih konstruktif dan membangun. Ini ketimbang mendengarkan pendapat-pendapat tertentu yang kontraproduktif,” kata Thavisin.
Selain fokus mengembangkan industri pariwisata Thailand, ia juga tidak menafikan industri pendukungnya seperti penggunaan teknologi mutakhir.
“Ada kemajuan dalam diskusi dengan raksasa teknologi Apple, Amerika Serikat (AS). Ini terkait kolaborasi di Startup Center di Science and Technology Park Universitas Chiang Mai. Mereka siap menyelesaikan kesepakatan awal lantaran lokasinya sudah fix (final). Dalam diskusi dengan rektor universitas Chiang Mai, pihak akademika telah mengakui potensi yang menguntungkan dari kolaborasi ini,” ujar Thavisin.
Sejatinya, menurut Perdana Menteri Thailand, pemerintah sendiri sangat antusias memperluas kerja sama itu.
“Thailand ingin menyertakan ‘Akademi Pengembang Apple’ di Thailand. Tim ini sedang mengatur kunjungan para eksekutif Apple guna menyelesaikan kesepakatan itu di akhir 2025 mendatang,” tutup Thavisin.
Sekadar diketahui, provisi atau biaya administrasi yang ditepkan sebuah negara kepada wisatawan mancanegara berbeda-beda. Provisi dianggap sebagai suatu “jaminan” bagi para turis asing yang berniat berlibur ke suatu negara.
Saat membuat visa misalnya, para wisatawan disyaratkan memenuhi aturan maupun ketentuan yang dikeluarkan suatu negara. Salah satu syarat pengajuan visa yang seringkali menjadi ganjalan bagi para wisatawan adalah disertakannya rekening koran dengan saldo tabungan mencapai jumlah minimal tertentu.
Sejatinya, setiap negara memiliki peraturannya sendiri dan harus dipenuhi agar dapat “melancong” di negara tujuan. Adapun tujuan kedutaan suatu negara meminta penyertaan dokumen tersebut semata-mata guna memastikan wisatawan yang datang memiliki dana yang cukup. Baik untuk berpergian dan pulang kembali ke negara asalnya.
Pasalnya, jika tidak kedutaan khawatir nantinya bakal terjadi hal yang tidak diinginkan seperti menjadi wisatawan ilegal atau imigran gelap.
Effendi Wongso