BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR — Politik ekonomi Indonesia masih rapuh. Itu sebabnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil masih tidak konsisten. Selama ini yang dijalankan adalah ekonomi politik sebagai bentuk intervensi pemerintah menjaga stabilitas ekonomi, memacu pertumbuhan tapi tetap terjadi kesenjangan-kesenjangan. Angka-angka kemiskinan tidak pernah dapat dituntaskan, bahkan kian terjadi kedalaman dan keluasan kemiskinan.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertema Politik Ekonomi dan Ekonomi Politik 2018 yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni (IKA) Komisariat Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Warkop Kawang, apartemen Vide View Panakkukang, kota Makassar, Jumat, 5 Januari 2018, sore.
Menurut Ajiep Padindang, Ketua Komite IV di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang membidangi APBN, pajak dan pungutan lain, perimbangan keuangan pusat dan daerah, lembaga keuangan dan perbankan, koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, dan statistik, pengembangan sistem perekonomian nasional saat ini membutuhkan payung hukum berupa ‘Undang-undang Sistem Perekonomian Indonesia’ agar ada patron apakah kita menganut sistem ekonomi liberal atau ekonomi sosialis.
”Memang sudah banyak dibuat undang-undang berkaitan perkonomian , seperti Undang-undang Koperasi, Undang-undang Perdagangan, Undang-undang Persaingan Usaha dan lain-lain tapi itu semua sifatnya parsial, tidak konperehensip sebagai payung hukum perekonomian yang digunakan memproteksi agar aturan-aturan cabang-cabang ekonomi yang dibuat semua berkeadilan, ada patokan yang jelas menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Sebenarnya, menurut dia, pembuatan Undang-undang Sistem Perekonomian Nasional mwerupakan amanat konstitusi yaitu untuk mengatur perekenomian Indonesia. ”Pihak DPD sudah membuat menyusun draf undang-undang tersebut, sudah tiga kali mengusulkan untuk dibahas ke pihak DPR tapi selalu ditolak tidak dimasukkan dalam Prolegnas./Penulis: pengamat sosial dan penggiat media sosial