Oleh : Gde Palgunadi
MAU kondisi lalu lintas jalan raya macet atau lancar?, tergantung konteksnya dong. Oke, tidak perlu konteks-konteks. Pilih satu saja. Jangan pilih bulu, pilihannya cuma ada dua : macet atau lancar?. Ini agak dilematis, yang bisa berujung dramatis. Tidak seromantis drama korea (drakor) atau semistis drakula.
Ini tak hanya berlaku lokal, tetapi juga nasional, regional dan bahkan global. Layaknya kartu kredit branded, tidak hanya berlaku di Makassar, Denpasar, juga di Bandung, Tokyo, Paris, Rio hingga New York. Pandemi Covid 19 membuat jalanan lengang. Deru kendaraan, denyut stasiun, riak bandara serta detak pelabuhan terhenti. Stay home. Home sweet home. Yang terpaksa far from home dengan berbagai alasan, pastilah merasa homesick.
Jadi, mau macet atau lalu lintas lancar?. Sebelum badai pandemi, beberapa kota-kota tersebut dan kebanyakan kota lainnya di dunia benar-benar sibuk. Sangat dan sangat sibuk. Berpacu dengan waktu, berpacu dengan debu. Roda perekonomian berputar. Berputar dan berputar. Tidak siang, tidak malam. Mulai ayam berkokok hingga muncul senandung burung hantu.
Di Bali, saat ini melintasi kantong-kantong turis yang biasanya penuh sesak, perasaan seperti gimanaa gitu.. Kuta, Legian, Seminyak dan sekitarnya seperti , wilayah tak bertuan. Mungkin seperti inilah sewaktu Tuan Lange (Mads Johansen Lange) mulai menginjakkan kaki di daerah ini dan kemudian mengenalkan Kuta ke dunia internasional. Suasana di daerah Nusa Dua, Ubud, Candidasa sama saja. Sami mawon. Sepi.
Tidak ada suara riuh rendah di bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Langit Bali ditutup, walau kemudian kita mulai mendengar sayup-sayup deru pesawat di atas atap rumah. Spot selfie di Wanasari juga sunyi. Birdnest yang biasanya dihuni pasangan kasmaran itu kini pergi entah kemana. Ayunan swing di Ceking Tegalalang juga terayun bisu. Debur ombak di Pantai Pandawa terasa sumbang tanpa canda tawa. Sementara lewat layar TV, kita melihat tempat-tempat wisata dunia juga tanpa penghuni. Colosseum, Eiffel, Shinjuku, Kota Terlarang, Copacabana, Opera House dan sebagainya juga seperti kehilangan mitra cintanya.
Ya, kita merindukan nuansa yang dulu. Cinta yang dulu pernah ada. Kita menginginkan kondisi ‘’old normal’’, kenormalan yang dulu. Saat-saat Jakarta macet, saat-saat Kuta hiruk pikuk, Ubud yang sampai kini ngurus parkirnya susah dan sebagainya. Simfoni itu kita rindukan. ‘’Walau kondisi jalanan macet, tetapi kredit tidak macet,’’ kenang seorang teman pramuwisata.
Walaupun saat ini sedang ngehits soal ‘’New Normal’’, saya lebih suka memakai istilah ‘’Old Normal’’, sebuah kenormalan yang lama. Sebab, bagi saya, kita terlalu larut dengan istilah. Seneng banget asyik masyuk dengan terminologi dengan seringkali melupakan roh ‘’ideologi’’. Banyak narasi dan diksi sehingga samar substansi. Ibarat masakan, terlalu banyak terasi! Banyak bertebaran retoria angka-angka tanpa makna.
OK, welcome old normal. Sambutlah hari-hari yang beberapa bulan ini terampas dari kita. Banyak versi dan target pemerintah. Ada yang optimis akhir Mei, ada yang menarget Juni atau bahkan sampai September. Kita ikuti arahan pemerintah dengan tetap konsen dan patuh dengan hal-hal mendasar. Jaga jarak, sering cuci tangan, memakai masker kalau keluar rumah, tetap berolah raga, mengkonsumsi asupan gizi seimbang.
Betapa rindunya kita melihat anak-anak pergi ke sekolah dengan riang gembira, kangen melihat emak-emak gagah berani dengan sein ke kanan tetapi belok kiri, kangen kemacetan dengan suara klakson yang tiada henti, ingin kembali melihat kerumunan turis di berbagai objek wisata, dan sebagainya dan sebagainya. Impian ini sudah di pelupuk mata, sebentar lagi kita akan sampai ke sana. Tetap smangat..!
Lalu bagaimana dengan ‘’New Normal’’ ? Oke, baiklah kalau masih tetap gandrung dengan istilah ini. New Normal bagi saya hanyalah sebuah pola perilaku, habit masyarakat yang muncul di tengah pandemi. Yang mulai terpola dengan moda daring. Barangkali itu, perlu waktu lama dan investasi besar. New Normal bagi saya baru sebatas permukaan, belum menyentuh ke inti.
New Normal bagi saya adalah sebuah perubahan sistemik. Sebuah pola pikir serta laksana yang benar-benar baru. Pemerintah, eksekutif dan legislative, yang punya cara pandang serta wawasan baru dalam mengelola daerahnya. Ini bukan ngayah seperti yang seringkali dikatakan para pejabat. No, ini bukan ngayah broo. Ini kerja. Work, work and work. coz you’re paid for that.
Jadi, kalau kembali mengacu pada dua pilihan di atas tentu saya akan pilih : Lalu lintas macet, tetapi kredit bank saya lancar hehehe. Atau, kalau tetap mau pakai istilah New Normal, begini saja, gampang. Resapi, pahami dan laksanakan ajaran leluhur dulu : cenik lantang, lais tileh. Kecil tetapi panjang, laris tetapi utuh. Banyak turis yang datang, banyak investor tiba, tapi keaslian Bali, agama, budaya, alam, perilaku masyarakat dan lainnya tertap terjaga dan lestari. Kalau mampu melaksanakan, nah itu baru ‘’New Normal’’ atau bahkan ‘’New Era’’.
Itu saja. That’s all.
Penulis : Wartawan Senior / Pimpinan Bali Travel News
(gdepalgunadi@gmail.com)