OJK Pertimbangkan Pemberian Insentif “Listing Fee” Bagi Pemda yang Terbitkan Obligasi dan Sukuk Daerah

205
Kepala OJK Sulselbar, Moh. Muchlasin. POTO: BALI PUTRA

 

BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen terus mendorong pemerintah daerah (Pemda) agar mengajukan penerbitan obligasi maupun sukuk daerah (Obda/Sukda). Selain terus melakukan diseminasi mekanisme dan manfaat, OJK juga mempertimbangkan pemberian insentif listing fee bagi Pemda yang akan melakukan penerbitan Obda/Sukda.

Hal itu disampaikan Kepala Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (OJK Sulselbar), Moch. Muchlasin di Makassar, Selasa (09/12/2025)

Selain mengeluarkan regulasi, yakni POJK 10/2024, OJK aktif melakukan sosialisasi ke beberapa daerah, berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai bagian dari Tim Pendampingan Penerbitan Obda/Sukda.

“Saat ini OJK sedang memproses usulan dari PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam rangka memberikan insentif listing fee bagi Pemda yang menerbitkan Obda/Sukda,” ujar Muchlasin.

Ia menjelaskan, secara spesifik, Obda merupakan surat utang jangka panjang yang diterbitkan Pemda untuk membiayai kegiatan investasi publik yang diharapkan dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan Sukda, surat berharga syariah yang diterbitkan Pemda dengan underlying proyek tertentu yang mengikuti prinsip syariah. Tujuannya, mendorong inklusi keuangan dan membuka akses bagi investor yang ingin berinvestasi sesuai syariah.

“Obda maupun Sukda, keduanya merupakan instrumen strategis untuk pendanaan pembangunan daerah yang dapat diterbitkan Pemda dengan tetap mengedepankan prinsip kehatian-hatian, feasible dan akuntabel, memiliki tata kelola yang kuat, meminimalkan risiko fiskal, mengutamakan perlindungan investor serta mendukung pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.

Dalam regulasi yang diterbitkan OJK, diatur beberapa poin seperti, pengaturan seluruh siklus penerbitan obda/sukda. Mulai dokumen pendaftaran, pemeringkatan, penawaran umum (bisa secara bertahap), penyusunan prospektus, sampai kewajiban pelaporan dan pengumuman informasi (termasuk fakta material) oleh Pemda sebagai emiten.

“Regulasi ini diharapkan bisa mendorong Pemda dengan kondisi fiskal sehat untuk mempertimbangkan obda/sukda sebagai alternatif pembiayaan Pembangunan,” tambahnya.

Hanya saja, meskipun instrumen obda/sukda sudah tersedia secara regulasi dan sudah sering disosialisasikan sebagai alternatif pembiayaan daerah, hingga saat ini belum satupun Pemda di Indonesia yang tercatat melakukan penerbitan obda/sukda, termasuk Sulawesi Selatan.

Muchlasin melihat ada dua faktor yang menjadi kendala utama terkait penerbitan obligasi daerah, diantaranya persyaratan fiskal dan administratif yang cukup ketat mengingat daerah harus memiliki kesehatan keuangan fiskal yang kuat dan manajemen proyek yang matang;

Kemudian, prosedur penerbitan melibatkan banyak pihak, terutama berkaitan dengan perizinan, yakni persetujuan DPRD, persetujuan pemerintah pusat (Kemenkeu/Kemendagri), asesmen lembaga pemeringkat hingga pengajuan pernyataan pendaftaran ke OJK.

Menurut muchlasin, beberapa keunggulan jika Pemda memilih menerbitkan Obda/Sukda. Dapat menghimpun dana dalam jumlah besar, sehingga cocok untuk proyek besar (jalan, RS, pelabuhan, kawasan industri), tidak tergantung plafon pinjaman bank.

Biaya dana (cost of fund) bisa lebih rendah. Jika daerah memiliki rating baik, yield obligasi dapat lebih murah dibanding bunga bank. Serta, meningkatkan transparansi dan tata kelola, di mana, Pemda wajib mempublikasikan prospektus, laporan keuangan, pemantauan proyek, dan pengumuman publik, hal ini mendorong good governance.

Selain keuanggulan, tentu ada juga kelemahannya. Proses penerbitan lebih panjang dan kompleks karena harus mendapatkan persetujuan DPRD, penilaian Kemendagri, persetujuan OJK, rating, penunjukan penjamin emisi (underwriter), legal, audit, dan wali amanat, serta beberapa kelemahan lain.

Bali Putra