Mengangkat Pamor Kopi Lokal Sulawesi

1038
Petani sedang menjemur kopi, Proses ini merupakan proses yang paling tua dan sederhana pasca panen kopi.

BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai International Coffee Day (Hari Kopi Dunia). Indonesia dikenal sebagai pengekspor kopi terbesar di dunia. Sebagian besar tanaman kopi itu dipasok dari perkebunan kopi yang tersebar di wilayah Sulawesi. Dari segi jenis dikenal kopi robusta dan arabica. Namun dari sisi penamanaannya, di pedalaman Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan banyak dijumpai nama kopi lokal. Seperti kopi toraja, kopi kalosi/enrekang, kopi bisang di tanah Luwu, kopi hutan Bantaeng, dan lain-lainnya.
Selain itu, kopi sudah menjadi gaya hidup. Bukan hanya di desa tapi di kota-kota besar, minum kopi sudah merupakan sebuah lifestyle. Untuk itu, para petani kopi dituntut untuk memperbaiki kualitas kopi dan makin aktif memperkenalkan kopi lokal ke dunia industri.
Toraja Coffee
Kopi multi-dimensi jenis Arabika ini tumbuh di dataran tinggi Sulawesi Selatan. Bahkan, jenis kopi ini masuk 10 terbaik di dunia. Manisnya pedesaan Tana Toraja dan catatan buah diredam menciptakan rasa mendalam dengan kualitas yang pedas menyengat mirip dengan kopi Sumatera. Toraja kopi diproses dengan menggunakan basah giling basah metode, yang menghasilkan sekam bebas biji kopi hijau.
Keasaman rendah-kencang namun bersemangat, dengan tubuh lebih kecil dari kopi Sumatera meskipun sedikit lebih asam, dan dengan popularitas lebih dari kopi Arabika khas Jawa.
Kopi Bonthain
Kopi hutan asal Bantaeng ini sudah diperkenalkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) setempat pada ajang Festival Kopi dan Kakao di Jakarta, 5 November 2015. “Kami memiliki beberapa jenis kopi, termasuk Arabica dan Robusta, tapi ‘Kopi Bonthain’ inilah yang khas dan memang sudah ada jauh sebelum orang mengenal jenis kopi Arabica dan Robusta,”ujar Andi Mappatoba, Kadisperindag Bantaeng.
‘Kopi Bonthain’ ini oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan ‘kopi romang’ atau ‘kopi liberika’. Tapi kopi jenis ini lebih familiar dengan istilah kopi hutan karena biasanya banyak didapati di area hutan Bantaeng. Berbeda dengan kopi jenis lain, ‘kopi Bonthain’ ini memang sangat mudah dikembangkan karena tidak butuh perawatan ekstra.
Adapun nama ‘Bonthain’ dilekatkan pada jenis kopi ini karena nama ‘Bonthain’ merupakan nama yang menjadi simbol kejayaan Bantaeng di masa lalu, sama seperti cita rasa kopi hutan yang memang terkenal sejak zaman Belanda.
“Tidak banyak yang tahu kalau Bantaeng itu penghasil kopi terbaik. Banyak lho kopi yang dijual dengan label kopi toraja, sebenarnya diambil dari Bantaeng,” ujarnya.
Berdasarkan data budidaya, dari delapan kecamatan yang ada di wilayah kabupaten Bantaeng, lebih dari separuhnya adalah penghasil kopi dengan areal sekitar 4.000 hektare yang sudah ditanami kopi jenis Robusta dan Arabica. Dengan produksi kopi Robusta mencapai 611 ton per tahun dengan produktivitas 292 kg/ha. Sementara kopi Arabica tercatat produksinya sekitar 245 ton per tahun dengan tingkat produktivitas rata-rata 290 kg/ha.
Kopi Bisang
Di kawasan dataran Luwu, Sulsel, ada juga ‘Kopi Bisang’. Pada hari jadi Luwu ke-9 pada 12 Februari 2015 ‘Kopi Bisang’ secara resmi dilaunching.
“Belum lengkap rasanya jika belum menikmati kopi bisang. Karena kopi ini punya rasa khas yang sudah melekat di lidah masyarakat pencinta rasa kopi. ”Jangan mengaku pecinta dan penikmat kopi sebelum merasakan sensasi kopi Bisang,” ujarnya Andi Muzakkar, Bupati Luwu berpromosi.
Proses mendapatkan biji kopi bisang berbeda dengan kopi luwak, walaupun sama-sama melalui proses fermentasi binatang. Bisang merupakan salah satu binatang endemik Sulawesi yang nyaris punah. Jenis binatang pengerat ini, bentuknya sangat mirip kaskus beruang atau kuse. Binatang ini hanya bisa ditemui di Desa Ulu Salu, Kec.Latimojong, Luwu.
“Jika kopi luwak diperoleh dari kotoran binatang luwak, kopi bisang diperoleh melalui gumoh atau muntahan binatang bisang. Inilah salah satu perbedaan antara kopi luwak dan kopi bisang,” jelasnya.
Kopi Kalosi
Kopi Arabica Kalosi Enrekang adalah nama produk indikasi geografis Indonesia untuk kopi Arabica yang berasal dari perkebunan rakyat di kabupaten Enrekang, Sulsel. “Kopi kalosi resmi berasal dari Enrekang bukan Toraja,” ungkap Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan kab Enrekang, Arsil Bagenda.
Perkebunan kopi di wilayah Enrekang yang masih alami dan terpencil, tumbuhan langka di dunia khas Sulawesi masih ditemukan populasi pohon induk kopi Arabica Tipika, yakni varietas kopi terbaik yang telah dinyatakan musnah. Daerah populasi kopi elit ini hanya tersisa di Desa Buntu Sarong kecamatan Masalle, Dusun Pajoppong, Nating di Desa Sawitto kec Bungin.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No 46/Kpts/PD.300/I/2015 tentang penetapan kawasan perkebunan nasional, kabupaten Enrekang adalah salah satu kabupaten yang ditetapkan sebagai kawasan perkebunan kopi.”Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Enrekang berkomitmen untuk meningkatkan produksi, prouktifitas komoditi pertanian termasuk kopi, sehingga diharapkan kesejahteraan petani kopi yang berorientasi agribisnis dapat meningkat,” pungkas Arsil.
Kopi Toratima
Toratima oleh warga Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah disebut sebagai biji kopi yang istimewa. Biji kopi itu adalah “pilihan” mamalia hutan yang kebanyakan nokturnal alias aktif berkeliaran pada malam hari. Sebut saja tarsius –hewan endemik Sulawesi Tengah, tupai, kera, kuskus kerdil, tikus, juga kelelawar.
Para hewan itu hanya menyantap daging kopi yang manis dan sudah masak, lalu melepeh atau membuang bijinya ke tanah. Biji sisa lepehan mamalia itu yang dipungut para petani Pipikoro lalu menjadi salah satu biji kopi kualitas tinggi.
***Mohamad Rusman

Baca Juga :   BSM Sudah Salurkan 400 Kartu ATM Berlogo GPN di Makassar