Oleh :
Basri Basir MR, SE.,M.Ak.,CBC
Sampai pada 30 Maret 2020 tepat hampir du bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, belum juga kunjung mereda , yang kita lihat di layar kaca telivisi dan media online lainnya adalah sebaliknya, penambahan jumlah kasus pasien Covid-19 yaitu sebanyak 1.414 kasus. Tiap hari bertambah sekitar 100 orang dan sembuh dikisaran angka 75 orang, meninggal 122 orang (sumber : BNPB)
Disisi lain respon pemerintah pusat sampai hari ini, belum mengambil langkah kebijakan lockdown, tetapi pemerintah akan menerapkan kebijakan karantina wilayah yang sementara dibuatkan aturan hukumnya menurut menko polhukam. Meskipun menurut saya, ini ada semacam anomali penerapan kebijakan pusat dan daerah. sebab, kita melihat diberbagai daerah banyak masyarakat sipil mulai menginisiasi sendiri penutupan jalur akses keluar masuk perbatasan antara kota guna menekan penyebaran Covid-19 ini yang menurut mereka kemungkinan dibawa oleh pendatang yang masuk ke wilayah tertentu.
Nah, di sisi lain masyarakat mengalami panic buying secara psikologi dan economic ‘’saya’’ menyebutnya begitu’ sebab, saya menyimak, bahwa masyarakat kita hari ini, bukan saja panik secara mental dan jiwa tetapi mereka juga panik secara ekonomi. mereka begitu banyak melihat pernyataan pemerintah yang tumpang tindih dan cenderung tidak konsisten dan tidak pasti.
Sebagian masyarakat setuju work from home dan sebagian lagi tidak setuju karena menurut mereka tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Contoh, buruh harian, pedagang asongan, pelaku UMKM dan para driver ojek online. Penerapan kebijakan ini membuat sebagian masyarakat kita tidak berefek, sebab social distancing itu akan berdampak pada pekerjaan mereka dan mata pencaharian mereka.
Contoh lain misalnya ketika presiden menyampaikan akan ada relaksasi kredit bagi debitur terkhusus lagi pelaku ojek, UMKM dan beberapa lainnya. Mereka merasakan pernyataan itu tetap tidak memiliki efek sesuai yang diharapkan sebab pada kenyataanya tetap saja pihak leasing mendatangi mereka untuk dimintai angsuran kendaraan mereka dan harus membayar sejumlah angsuran yang sudah ditentukan padahal satu sisi mereka kehilangan mata penceharian mereka.
Kemudian kebijakan yang lain yang perlu ditegaskan pemerintah soal larangan mudik bagi daerah yang terdampak Covid 19, namun satu sisi mereka tetap ngotot ingin pulang kampung karena mereka merasakan kesulitan ekonomi jika mereka tetap tinggal di kota. Nah pertanyaannya sekarang adalah, ; jika mereka tetap tinggal di kota adakah jaminan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan mereka selama tinggal di kota yang terdampak Covid-19 , sementara, satu sisi mereka kehilangan mata pencaharian. Ini yang menurut saya negara perlu hadir untuk memastikan keadaan masyarakat kita hari ini di tengah maraknya wabah Covid-19.
Oleh karena itu secara pribadi saya berharap pemerintah memantapkan kordinasinya mulai pemerintah pusat sampai daerah benar-benar memiliki visi yang sama dan jalur regulasi yang sama sihingga tidak menciptakan kepanikan baru di tengah masyarakat akibat mewabahnya Covid-19. Selain itu sebelum masyarakat diminta untuk mematuhi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat harusnya sistemnya bisa disiapkan mulai dari hulu sampai hilir. Itulah kenapa sejak awal dalam tulisan saya berharap pemerintah belajar dari kasus ini bahwa yang namanya ‘’deteksi dini’’ itu perlu dilakukan dan dipersiapkan secara matang sebab jika tidak maka kita akan sulit menanganinya apabila sudah terjadi dan tentu akan banyak pihak yang dirugikan termasuk dalam hal ini pemerintah pusat baik secara makro maupun skala mikro.
Penulis ; Coach Practicioner Startup Bisnis dan UMKM/Pengamat Ekonomi/ Ketua Inkubator Bisnis dan Kewirausahaan Unismuh Makassar