In Memoriam, Andi Mappetahang Fatwa

345
Sawedi Muhamad

BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR — Lelaki pemberani itu berpulang dengan tenang pada dini hari tanggal 14 desember 2017, diusia 78 tahun. Perjalanan hidupnya penuh warna; melintasi beberapa generasi yang tidak selalu memihaknya.
Saya bertemu dengannya di panas terik ibu kota pertengahan tahun 1993; tahun dimana Orde Baru tengah menapaki puncak keangkuhannya. Atas permintaan Ali Sadikin, beliau ditemani oleh Chris Siner Key Timu menemui saya dan rekan saya Azizuddin Zt membincang perihal undangan kami ke Bang Ali untuk menghadiri Dialog Perdamaian Dunia yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional (Himahi) Fisip Unhas.

Agenda tahunan waktu itu bertema “Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Indonesia Baru” dan mengundang Bang Ali sebagai “keynote speaker-nya”. Pembicara lainnya yang diundang adalah Uskup Belo dan Ramos Horta dari Timor-Timor, Baharuddin Lopa, Adnan Buyung Nasution dan Mochtar Pabottingi. Usai berbincang sejenak di halaman rumah Bang Ali di Borobudur 2, kami diajak ke kantornya di Kwitang, toko buku Wali Songo yang memiliki banyak koleksi buku agama Islam, lukisan dan kaligrafi bernuansa Islam
Dengan menumpang mobil daihatzu ferozanya, kami bertiga berangkat dari Borobudur 2 sambil berdiskusi di sepanjang perjalanan. Beliau beberapa kali mempertanyakan motif kami mengundang Bang Ali, sambil dengan nada serius mengatakan “kalian bisa dipenjara loh”.

Kami sempat beradu argumen tentang perubahan rezim yang kami perkirakan waktu itu tidak akan lama lagi terjadi revolusi sosial di Indonesia. Saya dengan lantang menegaskan bahwa saat ini rezim militeristik Soeharto sudah berada di ambang senja kekuasaan (the autumn of the patriarch), sambil mengutip novel karya sastrawan Kolombia Gabriel Garcia Marquez yang beraliran realisme magis itu.
Bagi AM Fatwa, revolusi di Indonesia tidak memungkinkan saat itu karena kekuasaan militer masih sangat kuat dan absennya tokoh kharismatik yang dapat dengan bebas menyuarakan penderitaan rakyat. Di titik ini kami menemui kesepahaman. Kami berharap petisi 50 yang diwakili oleh Bang Ali menemukan panggungnya untuk tampil di hadapan publik menyuarakan demokrasi dan menyerukan diakhirinya rezim Orba yang otoriter.

Baca Juga :   Pajak Menjadi Sumber “Primadona” Pendapatan

penulis : dosen Fisip unhas Makassar