BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR — Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan (Sulsel) tahun 2017 lalu sebesar 7,23 persen. Ini sekaligus menempatkan pada posisi kedua tertinggi nasional, setelah Maluku Utara, dalam hal pertumbuhan ekonomi.
“ Di tengah kondisi ekonomi regional dan nasional yang kurang baik, justru pertumbuhan ekonomi Sulsel bisa naik dari peringkat empat tahun lalu, menjadi peringkat kedua nasional. Kinerja ekspor kita juga positif, meskipun impor kita juga agak naik. Tapi, impor kita itu adalah barang-barang modal yang nanti dampaknya akan dirasakan empat hingga lima tahun ke depan,” tutur Jufri Rahman, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Sulsel.
Pertumbuhan ekonomi Sulsel 2017 sebesar 7,23 persen, sedikit lebih kecil dibanding tahun 2016 yang mencapai 7,42 persen. Namun berhasil menempati urutan kedua tertinggi nasional setelah Maluku Utara, dengan total PDRB diciptakan mencapai Rp 418,93 triliun, atau meningkat sebesar 10,35 persen dibanding tahun 2016 yang sebesar Rp 379,63 triliun.
Demikian pula PDRB perkapita Sulsel tahun 2017 mencapai Rp 48,21 juta, atau meningkat 9,29 persen jika dibandingkan tahun 2016 Rp 44,11 juta.
Pertumbuhan ekonomi Sulsel tahun 2017, tidak terlepas dari beberapa faktor. Antara lain, perlambatan jasa keuangan/perbankan, yang disebabkan karena melambatnya peran perbankan, yang terlihat dari perlambatan value added (nilai tambah) yang tercipta dari 16,02 persen di tahun 2016, menjadi hanya 0,12 persen di tahun 2017.
Penyebab lainnya, perlambatan pertumbuhan di lapangan usaha pertanian yaitu dari 7,86 persen di tahun 2016 menjadi 5,34 persen. Perlambatan ini sebagian besar didorong oleh perlambatan pertumbuhan produksi padi dari 7,73 persen di tahun 2016 menjadi 5,63 persen.
Perlambatan ini semata-mata karena hampir sepanjang tahun 2017 terjadi gangguan cuaca atau iklim di kantong-kantong produksi padi. Meskipun mengalami perlambatan pertumbuhan, namun produksi padi tetap meningkat dari 1,12 juta ton pada tahun 2016, menjadi 1,18 juta ton di tahun 2017.
Selanjutnya perlambatan industri pengolahan, dari 8,23 persen menjadi 4,65 persen. Hal ini disebabkan karena perlambatan produksi industri makanan dan minuman dari 9,47 persen di tahun 2016, menjadi 9,36 persen di tahun 2017.
Untuk ekspor dan impor, terjadi penurunan devisa dari USD 303,40 juta di tahun 2016, turun menjadi USD 125,34 juta. Namun, pertumbuhan ekspor barang luar negeri justru meningkat, dari minus -19,08 persen di tahun 2016, menjadi 1,04 persen di tahun 2017.
Untuk impor barang luar negeri juga meningkat, dari minus – 8,17 persen di tahun 2016, menjadi 21,89 persen di tahun 2017. Kontribusi impor barang modal cukup signifikan, tahun 2016 mencapai 46,68 persen dan 2017 mencapai 34,47 persen dari total nilai impor./Komang Ayu