Efek Domino Makro Ekonomi Akibat Covid 19

846
Basri Basir MR, SE.,M.Ak.,CBC. POTO : DOK. BISNISSULAWESI.COM

 

Oleh : Basri Bsir MR, SE.,M.Ak.,

Beberapa minggu ini, kita masih memperhatikan dan menyimak, pemerintah masih dalam upaya penanggulangan pencegahan pandemi Covid 19. Pemerintah pusat sampai daerah mulai menerapkan kebijakan ‘’Pembatasan sosial Berskala Besar (PSBB)’’ secara resmi di beberapa provinsi di Indonesia. Selain itu baru-baru ini, tanggal 1 April 2020, Presiden Jokowi sudah menandatangani  Perpu tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Sistem Stabilitas Keuangan. Di mana, pemerintah menambahkan dukungan berupa stimulus anggaran jaring pengaman sosial sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid 19 bagi yang terdampak. Dari konferensi pers Presiden Jokowi, yang kita simak secara bersama sama menekankan, fokus pemerintah dalam penambahan stimulus anggaran ini meliputi 4 bidang yang akan diprioritaskan antara lain : 1. Kesehatan sebesar Rp 75 triliun.  2. Perlindungan sosial  Rp 110 triliun. 3. Dukungan kepada industri Rp 70,1 triliun dan yang ke – 4. pemulihan ekonomi Rp 150,1 triliun.

Kebijakan ini menurut saya, sudah efektif sebagai langkah awal dalam mengatasi kondisi yang sifatnya jangka pendek seperti saat ini tetapi akan sangat berbahaya untuk jangka waktu yang lama. Kenapa seperti itu? pertama, jika kita berkaca pada krisis ekonomi 1997/1998 dan pada tahun 2008/2009, negara ini harus mengambil pelajaran besar dari krisis tersebut di mana pada tahun 1997 kita dihantam oleh krisis eknomi global, karena selain kondisi ekonomi pada waktu itu mendapat guncangan yang luar biasa, di saat yang sama di negara kita juga krisis sosial dan politik terjadi secara bersamaan. Nilai tukar rupiah kita terkoreksi tajam, menyentuh batas normal, kemudian cadangan devisa kita juga terpukul habis dan beberapa perusahaan besar mulai berjatuhan satu demi satu ya dampaknya yaitu PHK secara besar-besaran dan menyebabkan penganguran cukup tinggi. Berbeda dengan kondisi di tahun 2009 , kita masih bisa survive karena pertumbuhan diangka 4,1 persen namun kondisi global sedikit mempengaruhi kondisi financial negara kita dan menghancurkan sektor keuangan kita. Secara rinci itu ditulis dalam sebuah jurnal oleh Imam Sugema seorang ekonom INDEF di tahun 2012.

Baca Juga :   Menyambut Nyepi, Umat Hindu Gelar Bakti Sosial Bersihkan Rumah Ibadah

Oleh karena itu, tentu kita tidak ingin kembali ke masa kelam, oleh karenanya pemerintah harus segera mengambil langkah pencegahan untuk menghindari krisis seperti di masa lampau sebab jika tidak maka kita akan kembali mengalami guncangan krisis ekonomi yang luar biasa bahkan, dalam rilis ‘’Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK)’’ memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam simulasi skenario terburuk bisa menyentuh minus 0,4 persen tapi untuk bisa survive minimal kita bisa tumbuh diangka 2,4 persen. Secara pribadi saya menilai kenapa hal itu bisa terjadi, karena kondisi wabah Covid 19 ini bukan hanya menggangu kesehatan manusia juga menggangu kesehatan ekonomi global, karena konsumsi masyarakat global menurun, investasi, serta ekspor impor semua menurun. Akibatnya perekonomian global secara makro menjadi lesu, dan hampir semua negara memprediksi pertumbuhan ekonominya diatas 6 persen itu tidak terjadi akibat virus yang mendunia ini.

Salah satu harapan kita memperbaiki kondisi ekonomi adalah sektor UMKM. Berkaca krisis ekonomi 1998, sektor ini dinilai sedikit ampuh membantu mengurangi dampak krisis yang dialami negara kita, namun harapan itu juga sirna karena sektor UMKM saat ini justru yang pertama mendapat hantaman luarbiasa, karena adanya pembatasan sosial PSBB dan mewajibkan mereka bekerja dari rumah. Oleh karenanya diawal tulisan saya, meskipun pemerintah mengeluarkan stimulus jaring pengaman sosial ini menurut saya baik dalam jangka pendek tetapi sangat berbahaya dalam jangka waktu yang lama. Dan itu mulai bisa kita rasakan diberbagai media misalnya ada sebuah perusahaan mulai memecat sepihak karyawannya karena ketidakmampuan financial perusahaan menggaji karyawannya karena perusahaan sepi. Selain itu para pengusaha pemilik perusahaan hanya mampu bertahan sampai bulan Juli saja. Menurut saya ini semua adalah gejala awal atau alarm bahwa krisis itu mulai nampak di depan mata kita. Oleh karena itu saya berpesan agar pemerintah pusat dan daerah mulai sekarang memperbanyak kordinasi dalam upaya mencegah dampak pademi Covid 19 ini dengan pendekatan makro ekonomi.

Baca Juga :   Permata Bank Bukukan Laba Bersih Rp2,8 Triliun

Penulis : Pengamat Ekonomi, Dosen FEB unismuh Makassar, Coach_Practicioner UMKM dan Startup Bisnis