BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara (Kanwil DJP Sulselbartra), Arridel Mindra menyebutkan, sepanjang 2023 DJP Sulselbartra terpaksa melakukan pemeriksaan terhadap 758 wajib pajak yang terindikasi tidak memenuhi kepatuhan perpajakan.
Hal itu disampaikan kehadapan wartawan usai mengglar media gathering di Hotel Claro, Selasa (10/10/2023).
Dikatakan Arridel, DJP Sulselbartra hingga saat ini sudah mengumpulkan 773.695 SPT Tahunan dari 2,5 juta wajib pajak. DJP menyadari PPh, PPN prinsipnya self assessment di mana wajib pajak mendaftar sendiri, menghitung, melapor dan membayar sendiri pajaknya. Sementara DJP sifatnya mengawasi.
“Kalau dilihat dari setiap tahapan, memang ada terindikasi ketidakpatuhan. Di tahap pengawasan, kami punya data pemicu 10.443 wajib pajak yang terindikasi awal (prlu konfirmasi) tidak patuh membayar pajak. Setelah diproses, sekitar 4.000 sudah melakukan konfirmasi,” ujarnya.
Setelah dilakukan pengawasan, kata Arridel, untuk tahap selanjutnya bagi wajib pajak yang tidak patut, ada sekitar 758 wajib pajak disepanjang 2023, yang terpaksa dilakukan pemeriksaan.
“Kalau pemeriksaan, kami sudah memiliki kewenangan lebih. Di mana, kami bisa masuk atau mengakses keuangan, bisa menyegel dan sebagainya,” sebut Arridel.
Diantara pengawasan dan pemeriksaan, ternyata masih ada yang betul-betul bandel dan bisa dikatakan masuk dalam pelanggaran pidana. Setidaknya ada 27 wajib pajak yang dilakukan tahap pemeriksaan bukti permulaan atau penyelidikan. Tujuannya, nanti akan ditemukan tersangka dan pasal pidana yang dilanggar. Itu sedang ditangani Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP Sulselbartra dengan dibimbing koordinator dari Polda, baik Sulsel, Sulbar maupun Sultra.
“Ada juga 6 wajib pajak yang naik ke tahap penyidikan, yang artinya suda ada tersangka. Saat ini sudah proses dan sudah diserahkan ke kejaksaan, satu wajib pajak diantaranya sudah menjalani persidangan di pengadilan,” katanya.
Dijelaskan Arridel, pidana perpajakan memiliki prinsip ultimum remedium. Di mana, negara lebih mendahulukan pemulihan penerimaan pada pendapatan negara. Sehingga status tersangka pun atau terdakwa di persidangan, dalam undang-undang, wajib pajak bisa melepaskan status tersebut asalkan membayar.
Untuk tahap penyelidikan, untuk melepas status itu harus membayar 100% pokok plus 100% denda. Atau dua kali lipat. Namun, kalau sudah tahap terdakwa di persidangan, harus membayar 100% pokok ditambah 300% denda atau membayar empat kali lipat.
“Kalau itu Rp10 miliar, berarti Rp40 miliar. Kalau mau ya lepas, kalau tidak, biar persidangan memutus,” sebutnya.
Rata-rata wajib pajak yang diselidiki adalah pihak swasta. Sektor-sektor yang sedang booming yakni pertambangan, supplier tambang, seperti subkon pengadaan BBM, pengadaan truk pengangkutan jasa pertambangan.
“Itu sektor-sektor yang rawan, saat ini. Tetapi di luar itu juga ada, kosmetik dan lainnya,” pungkas Arridel.
Syahruddin Aziz