
BISNISSULAWESI.COM, MAMUJU – Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Mamuju menjelaskan terkait temuan pemeriksaan pajak sebesar Rp1,07 miliar terhadap salah satu wajib pajak.
Di mana, setiap proses pemeriksaan pajak dilakukan secara profesional, berbasis data, dan sesuai ketentuan, khususnya Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Kepala KPP Pratama Mamuju, La Ode Irfah Firdaus, menjelaskan hal itu, sekaligus menjawab aksi kelompok mahasiswa di KPP Pratama Mamuju, Senin (08/12/2025) dan Rabu (10/12/2025).
Massa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa mengaku menerima aduan salah satu wajib pajak yang mendapat temuan pajak sebesar Rp1,07 miliar pada 2021. Menurut mahasiswa, pajak tersebut terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak penghasilan (PPH) beserta denda.
Padahal, wajib pajak yang diketahui bergerak di usaha jual semen, disebut tidak memungut PPN kepada pembeli karena belum berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Menanggapi itu, La Ode Irfah Firdaus menerangkan, pemeriksaan dilakukan berdasarkan data dan prosedur resmi. Temuan pajak yang menjadi sorotan, merupakan hasil pemeriksaan atas data perpajakan wajib pajak yang telah melalui tahapan formal sesuai standar operasional DJP. Mulai permintaan klarifikasi data, permintaan bukti pendukung, hingga pembahasan akhir dengan wajib pajak.
“Pemeriksaan tidak pernah dilakukan secara tiba-tiba. Setiap wajib pajak diberikan kesempatan menyampaikan data, penjelasan, dan keberatan selama proses pemeriksaan berlangsung, hak dan kewajiban wajib pajak yang diperiksa juga selalu disampaikan di awal proses pemeriksaan,” ujar La Ode.
Terkait tudingan adanya kejanggalan temuan PPN bagi wajib pajak yang mengaku belum berstatus PKP, La Ode menjelaskan, penetapan kewajiban PPN didasarkan pada omzet usaha, bukan semata pada ada atau tidaknya permohonan PKP.
Jika hasil pemeriksaan menemukan omzet wajib pajak telah melampaui batas pengusaha kecil, maka secara ketentuan wajib pajak sudah seharusnya dikukuhkan sebagai PKP.
Dalam kondisi seperti itu, PPN tetap terutang, kendati wajib pajak sebelumnya tidak memungut PPN kepada pembeli. Ketentuan PPN berlaku objektif. Jika omzet telah melewati batas, maka PPN terutang walaupun pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP.
“Hal ini diatur jelas dalam UU PPN,” katanya.
Namun demikian, La Ode menekankankan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberi kesempatan kepada setiap wajib pajak yang tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan. Di mana, wajib pajak memiliki hak penuh untuk menempuh jalur keberatan dan banding sesuai mekanisme sengketa pajak.
Hak-hak tersebut, diantaranya, Mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Mengajukan banding ke Pengadilan Pajak apabila tidak puas dengan keputusan keberatan
DJP selalu membuka ruang dialog dengan wajib pajak dan kuasa mereka serta menjunjung tinggi prinsip fairness dan transparansi.
“Kami menghargai kepedulian mahasiswa terhadap isu perpajakan, namun mengimbau agar setiap aspirasi disampaikan setelah mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang,” ujarnya.
Pihaknya terbuka untuk menerima klarifikasi, audiensi, maupun dialog dengan mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan. Informasi yang tidak lengkap dapat menimbulkan kesalahpahaman.
“Untuk kepastian hukum dan pembinaan wajib pajak, kami berkomitmen untuk memberikan kepastian hukum perpajakan bagi seluruh wajib pajak, sekaligus melakukan pembinaan yang proporsional agar pelaku usaha tetap dapat menjalankan usahanya dengan baik,” jelas La Ode Irfah Firdaus. *








