BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR– Badan Pengurus Cabang (BPC) Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Februari lalu menggelar Musyawarah Cabang (Muscab) di Kabupaten Bulukumba. Acara tersebut dihadiri Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) PHRI Sulsel Anggiat Sinaga, Sekjen BPD PHRI Sulsel Nasrullah Karim, Ketua BPC PHRI Makassar Kwandie Salim, Ketua Kelembagaan Bid. Organisasi BPD PHRI Sulsel, Makmur.
Sejumlah wartawan asal Makassar pun dibawa serta, termasuk BISNIS SULAWESI, untuk menyaksikan Muscab PHRI. Dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan, salah satunya adalah Kawasan Adat Ammatoa Kajang.
Sebelum kesana, yang ada dalam pikiran penulis adalah suatu desa dimana saat akan masuk kesana, orang-orang diharuskan menggunakan pakaian serba hitam. Selain itu, juga terkenal akan kesaktian ilmu sihirnya. Konon katanya merupakan salah satu suku yang ditakuti di dunia, karena ilmu gaibnya yang kuat.
Daerah kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun perlu diketahui, kajang di bagi dua yaitu kajang dalam yang lazim disebut tau kajang, serta kajang luar yaitu orang-orang yang berdiam di sekitar daerah kajang, terlihat lebih modern dan lazim disebut tau lembang.
Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi seperti listrik. berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima peradaban. Itulah sebabnya di daerah kajang dalam, tidak ada listrik. Bukan hanya itu, apabila kita ingin masuk ke daerah kawasan ammatoa (kajang dalam), ternyata benar, tamu tidak boleh
memakai alasa kaki, karena dianggap merupakan hasil produksi dari teknologi.
Bukan hanya itu, bentuk rumah kajang dalam dan kajang luar sangat berbeda. Di kajang luar dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam (kawasan ammatoa) yang menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan.
Ketika masuk ke desa kajang dalam, penulis bersama rombongan bertemu dengan kepala adatnya yang diberi gelar Ammatoa. Ia menceritakan tentang asal usul suku kajang, dan kenapa harus mempertahankan budaya mereka sampai sekarang.
Mengapa harus berpakaian hitam? Ternyata memiliki makna bagi warga Ammatoa, sebagai bentuk persamaan dalam segala hal termaksud kesaamaan dalam kesederhanaan. “Tidak Ada warna hitam yang lebih baik antara satu dengan lainnya, semua hitam adalah sama,” ungkapnya.
Satu hal yang tak akan pernah penulis lupa, mengenai hukuman yang berlaku di desa kajang dalam. Pertama dilarang orang luar mengambil ranting pohon, ketika melanggar akan dikenakan denda. Kedua, dilarang orang luar menebang pohon, ketika melanggar akan di kenakan denda. Ketiga dilarang mengambil hasil peliharaan warga kajang dalam, seperti udang, ikan, ayam dan kuda, ketika melanggar akan dikenakan denda. /Komang Ayu