BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Kini, jika masalah ongkos logistik menyeruak ke permukaan dan menjadi topik hangat di kalangan pemangku kepentingan (stakeholder), khususnya kemaritiman, maka itu karena adanya fenomena yang rada kontradiktif di lapangan.
Kontradiktif, karena pada saat pemerintah begitu bersemangatnya memenggal “dwelling time” (DT) peti kemas impor di pelabuhan utama di seluruh Indonesia, upaya itu tidak diikuti dengan turunnya ongkos logistik. Yang terjadi ongkos logistik malah justru melejit.
Mengapa ongkos logistik tidak berbanding lurus dengan menurunnya DT yang saat ini sudah 2,7 hari? Di mana “center of gravity” masalah yang satu ini? Center of Gravity atau CoG secara sederhana dapat dipahami sebagai titik tumpu/inti suatu benda, bisa juga permasalahan.
Lantas, di mana CoG masalah ongkos logistik yang melejit di tengah DT yang turun itu? Ia terletak pada tingginya “movement” (pergerakan) peti kemas selama di area pelabuhan.
Kalau peti kemas yang bergerak itu sudah berdokumen lengkap alias “clear and clear” dan langsung keluar pelabuhan, tidak jadi masalah. Seringkali peti kemas itu hanya berpindah dari lini 1 ke lini 2. Dalam kalimat lain, masih tetap dalam area pelabuhan. Nah, disini lah masalah muncul. Pemindahan peti kemas ke lini 2 tentu tidak masuk dalam perencanaan pemilik barang (“shipper”). Mereka berpikir barangnya akan lancar keluar dari pelabuhan.
Karena itu, biaya yang mereka siapkan pun termasuk standar saja semisal freight, THC/CHC, trucking dan lainnya. Namun, karena satu dan lain hal, peti kemas mereka tersendat. Terpaksalah kocek dirogoh makin dalam. Namanya biaya dadakan, jelas tak ada ukuran untuk apa saja biaya tambahan itu.
adi, yang terjadi dalam proses bongkar-muat peti kemas impor di pelabuhan di Indonesia adalah karena tidak adanya “reliability” dan “timeliness” dalam seluruh mata rantai kegiatan. Dan, menurut temuan Bank Dunia yang dipublikasikan pada 2015, kedua aspek tersebut merupakan sebagian dari biang kerok tingginya ongkos logistik nasional.
Praktik geser-menggeser peti kemas dalam area pelabuhan diatur dalam Permenhub No. 116/2016 tentang barang “long stay” atau melewati batas waktu penumpukan. Menurut aturan tersebut, peti kemas yang sudah lebih dari dua hari di container yard (lini 1) harus segera “ditendang” keluar. Keluarnya peti kemas dalam masa dua hari inilah yang dihitung sebagai selesainya proses dokumentasi selama dua hari. Dari sini pulalah klaim DT 2,7 hari itu berasal.
Menariknya, entah dari mana awal mula ceritanya, berkembanglah cerita, lebih tepatnya tudingan, operator pelabuhanlah yang menjadi biang kerok tingginya DT, sekaligus ongkos logistik. Pelindo, terutama Pelindo II, dituding tidak efisien, kemaruk dalam mencari untung dan lain sebagainya yang berujung membengkaknya ongkos logistik.
Penulis : Direktur The National Maritime Institute (Namarin)